Saturday, May 13, 2017

Sebuah nasehat ketika aku agak penat dengan banyaknya hujatan dari orang-orang yang merasa paling beriman. Atas repon yang diberikan, aku sangat bersyukur masih mempunyai teman seperti ini, terima kasih. Alhamdulillah.

...

Dila pernah ketemu mualaf?
Mungkin mualaf selalu mikir begini "Enak banget sih jadi kalian yg terlahir muslim di lingkungan muslim, ga perlu convert dan ditinggalkan keluarga terdekat."
"Lahir-lahir sudah muslim."

Tapi mengetahui kenyataan kalau terlahir sebagai muslim itu adalah melihat jelek-jeleknya ketidakdewasaan orang-orang muslim duluan, pasti respon kita bukan "Iya" kan?

"Ya engga lah, sama aja kok susahnya."
"Sama beratnya kok cobaannya."
"Ini adil kok buat orang seperti kamu."
Mungkin jawabanku itu.

Kalau mualaf itu terlahir dalam hidupnya diejek-ejek dulu sama orang-orang non-muslim, kita diejek-ejek dulu sama muslim. Tapi bedanya, mualaf akan mengganti teman-temannya dengan teman-teman yang baru, teman-teman muslim yang lebih baik. Sedangkan kita, mungkin ga tau apa harus mengganti teman-teman muslim kita yang tetap kekanak-kanakan.

Aku pernah lihat Dila ngetweet foto langit di luar angkasa. Kata Dila, selalu tenang melihatnya. Itu mungkin 5 tahun yg lalu. Tapi aku ga bisa melihat angkasa dengan perasaan yang sama. Aku takut sama angkasa, padahal kan apa yg harus ditakutkan. Aku hampir-hampir ga suka melihatnya, padahal kan bagus banget komposisi warnanya. Tapi ada penolakan dalam diri aku, dan itu karna foto angkasa adalah yg paling sering aku lihat pas zaman aku lagi debat berbulan-bulan sama teman Ateis. Aku takut ngeliat angkasa karna aku takut kalau argumen temen ateisku itu bener.

Padahal, keindahan angkasa itu sendiri ga ada hubungannya dengan argumen siapa yg benar kan?
Mau siapapun yang mengintimidasi dengan kata-katanya terhadap kepercayaanku, angkasa tetap aja indah dan ga perlu dikaitkan dengan permasalahan manusia ga terlihat macam aku. Aku ga tau apa istilahnya untuk ini. Memori tentang kejelekan orang lain membuat kita menolak semua yang berkaitan dengan orang tersebut, padahal ga ada kaitannya. Ngerti kah?

Seperti anak yang sering dibully teman-teman sekelasnya, dia jadi benci sekolah. Padahal ga ada kaitannya. Sekolah tetap sumber ilmu bahkan ketika semua teman-teman bullynya udah lulus. Kenapa masih benci sekolah?

Mungkin Islam seperti sekolah. Dan kita lagi dibully teman-teman sekelas kita, padahal kelas kita kelas paling unggul. Atau mungkin kita memang bukan di kelas unggul, karena itulah teman-teman sekelas kita masih tidak dewasa. Mungkin kita harus pindah ke kelas yang lebih unggul, dimana teman-teman baru yang jauh lebih bijak dan sopan menunggu kita. :)

No comments:

Post a Comment